Jumat, 03 April 2009

Puisi buat adik tersayang.

Puisi buat adik tersayang.

Puisi ini sebagai bingkisan kado di tahun ke-19.

Labirin-Nya

Jika hati merengkuh mimpi,

Seluruh jiwa meranggas menyuguhkan senyum.

Jika angan melanglang buana,

Gejolak jiwa mengepal bara.

Emosi meluap,

Menelusuri setiap bait cerita tak berujung.

Hati…

Angan…

Jiwa…

dan Emosi

mencari jejak malaikat maut

di labirin kehidupan rekaan-Nya

Makassar, 3 April 2009

By: kandamu yang paling cantik,

Asriyani Mappiwali

Kado ini untukmu Emma,

adikku di ULTAHnya esok hari.

Segala hal di dunia ini telah diatur oleh Sang Pemilik labirin kehidupan ini.

Karena itu, mari kita berserah kepada-Nya.

Kamis, 02 April 2009

Hadiah Kemiskinan

Angin malam berhembus, membelai, kemudian menusuk kulitnya. Bebatuan kecil berserakan di jalan tak beraspal, sesekali menyakiti telapak kakinya yang telanjang. Nyanyian jengkrik dan katak, mengalun memecah kebisuan malam. Anjing melolong nyaring menyayat hati seakan ikut merasakan sayatan pedih jiwanya, rasa gundah hatinya.

Ia terus berjalan menyusuri jalan yang semakin lama semakin sempit. Air matanya tak henti mengaliri wajahnya yang muram. Rambutnya tergerai panjang meliuk-liuk dipermainkan angin malam, menutupi sampai ke pinggangnya. Bibirnya mengatup rapat, menahan gejolak hatinya yang terus menjerit, merintih. “Ibu…!!!, Kakak…!!!” sesekali ia merintih memanggil ibu dan kakaknya.

Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya di tepi sungai, menatapi air yang mengalir tenang. Matanya menatap jauh ke depan, kosong. Memori masa lalu kembali terbayang, masih segar di ingatannya kenangan pahit masa lalu yang selalu ingin diakhirinya.

“Ibu, Marni ingin makan kue. Sudah lama Marni tidak makan kue, Marni lapar Bu!” Ketika itu,usianya masih delapan tahun. Ibunya tersenyum hambar, menahan air matanya agar tidak mengalir. “Tunggu ayah pulang ya! Ayah pasti membawa kue untuk Marni dan Ari.” Dipeluknya kedua anaknya, berusaha menenangkan mereka.

“Ibu, kenapa ayah belum pulang juga? Apa ayah masih hidup?” Ari menatap nanar wajah ibunya. Ibunya mengangguk pelan, ”Ayah mencari uang yang banyak buat kalian. Bukankah kalian ingin sekolah? Ari ingin jadi dokter kan?”

“Kemarin ibu guru menagih uang pembayaran sekolah Ari yang belum lunas. Kalau belum bayar, Ari tidak boleh ke sekolah. Ibu, Ari tidak mau putus sekolah.”

“Iya sayang, Ari tidak boleh putus sekolah. Ayah pasti pulang bawa uang yang banyak buat membayar uang sekolah kalian. Tidurlah, sudah larut malam!”

Marni menyeka butiran air matanya. Ia memperhatikan air sungai yang terus mengalir. Ingatannya melayang.

“Marni, kakakmu kemana?” Ibunya bertanya sambil membesarkan nyala api di tungku yang mengecil.

“Tadi pak Ahmad datang meminta kak Ari membantu memanjat pohon kelapanya.” Ibunya menghela nafas. “Ya sudah, tolong bantu ibu memasak!” Marni sibuk membantu ibunya. Tiba-tiba pintu diketuk seseorang.

“Assalamualaikum…!”

“Wa’alaikumsalam. Oh, Pak Sabar? Mari Pak, silahkan!” Marni mempersilahkan tamunya masuk.

“Ibumu ada, Nak?” tanya tamu itu.

“Ada di dapur Pak. Saya panggil dulu.” Marni menemui ibunya.

“Ibu, pak Sabar mencari Ibu di luar.” Sejenak ibunya terkejut.

“Ibu, kenapa?”

“Tidak apa-apa. Ibu keluar dulu ya.” Ibunya menemui tamunya. Marni kembali asyik dengan pekerjaannya. Tiba-tiba ia mendengar ibunya menjerit. Ia berlari ke ruang tamu, ia mendapati ibunya menangis tersedu-sedu.

“Ibu, ada apa? Kenapa Ibu menangis? Pak, ibu kenapa menagis?” Marni heran melihat ibunya menangis.

“Sabar ya, Nak! Ayahmu meninggal dunia.”

Bagai petir menyambar tubuhnya. Marni menjerit, jatuh tak sadarkan diri. Ibunya mendekap tubuh anaknya, menangis dan terus menangis. Suaminya telah mendahului mereka, meninggalkan luka yang dalam. Ia harus berjuang sendiri menafkahi hidupnya dan kedua anaknya yang masih kecil. Ia harus mejadi seorang ibu sekaligus seorang ayah. “Ya Tuhan, tabahkan hati hamba-Mu ini!”

Kembali butiran air matanya mengalir deras. Wajah ayahnya tercinta, terbayang. Kala itu, ia harus merelakan kepergian ayahnya saat ia dan kakaknya masih butuh kasih sayang seorang ayah. ”Ahh…! Ayah, andai saat ini engkau masih bersamaku. Ayah, sekarang saya sendiri, saya rindu padamu.” Ratapnya menyayat hati.

“Marni, ke sini Nak! Ibu ingin bicara.” Suatu malam ibu memanggilnya.

Ada apa Ibu?” Marni mendekat, duduk di samping ibunya. Ibunya menghela nafas panjang, mengumpulkan segenap kekuatan untuk bicara.

“Nak, maafkan Ibu. Tahun ini Ibu tidak bisa melanjutkan sekolahmu, biarkan Ari lebih dulu menyelesaikan sekolahnya.” Marni menundukkan wajahnya dalam-dalam. Baru saja ia lulus SLTP. Ia bercita-cita menjadi seorang pendidik, menjadi seorang guru. Namun, mimpinya harus dikubur. Ia sadar, kondisi ekonomi keluarganya tidak mengizinkan. Ibunya sudah sangat tua, sangat berat membiayai sekolah mereka seorang diri.

“Iya, Bu.” Berat sekali ia mengucapkan kalimat itu. Ibunya memeluk Marni sambil membelai kepala anaknya dengan penuh kasih.

Malam itu, ia harus membuang jauh-jauh mimpinya. Impian seorang anak miskin yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Semuanya musnah termakan oleh kemiskinan yang tiada habis-habisnya. Namun, semua itu harus ia jalani dengan penuh ketabahan sekali pun menyakitkan.

“Marni, Kakak berangkat dulu ya. Doakan Kakak berhasil dan cepat pulang!” suatu ketika kakaknya akan berangkat ke kota melanjutkan sekolahnya. Marni mengangguk, ia memeluk kakaknya tercinta.

“Cepat pulang ya, Kak! Ibu sudah tua, Kakak adalah satu-satunya harapan kami. Kami ingin melihat Kakak pulang dengan gelar seorang dokter.”

“Iya Dik, Kakak akan berusaha sebisa mungkin. Doakan ya! Jaga ibu baik-baik!” Ari melangkah pergi sambil melambaikan tangannya. Ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya ke kota. Marni melepas kepergian kakaknya dengan doa, doa yang setia dipanjatkan untuk keberhasilan kakaknya.

Marni berdiri semakin ke tepi sungai yang dalam. Angin malam terasa semakin dingin. Malam semakin larut. Marni tak kuasa menghentikan tangisnya. Semua derita dan tangis silih berganti terlintas di ingatanya. Penderitaan yang selalu menyisakan tangis perih. Senyum dan tawa tak berani terlintas dalam hidupnya, yang ada hanya duka yang harus ia terima. Pahitnya kehidupan seolah menjadi teman akrab yang setia menemani hari-harinya.

“Marni, Ibu ingin bertemu dengan kakakmu Nak. Tolong panggilkan dia untuk Ibu. Ibu sangat merindukannya, ibu ingin melihatnya walau hanya sebentar. Tolong Ibu, Nak!” Ibunya terbaring lesu, sudah dua minggu ia sakit. Ibunya sangat merindukan Ari yang sudah empat tahun belum kembali.

“Ibu, kak Ari pasti akan pulang. Ia sudah berjanji kepada Marni akan cepat pulang, tapi nanti setelah kak Ari jadi dokter. Sabar ya, Bu!” Marni mencoba menenangkan ibunya. Ia tak mampu menahan luapan air matanya melihat tubuh ibunya yang semakin kurus. Ia tidak bisa membawa ibunya ke dokter, ia tak punya biaya untuk itu.

“Marni, tolong Ibu Nak! Ibu ingin bertemu dengan kakakmu, pergilah! Susul Ari ke kota, Ibu ingin bertemu walaupun hanya sekali saja.” Marni tak bisa menolak permintaan ibunya yang terus memohon. Ia memeluk tubuh ibunya yang tak berdaya di atas tikar.

Baiklah Bu. Besok Marni berangkat, sekarang sudah malam.”

“Tidak Nak, jangan menunggu besok. Pergilah sekarang! Ibu akan menunggu kalian kembali. Berjanjilah kalian akan kembali secepatnya.”

Tapi Bu…,”

“Ibu mohon Nak, sekarang pergilah!” Ibunya memotong ucapan Marni. Marni mencium wajah ibunya.

“Tunggu kami, Bu. Kami akan cepat pulang.” Marni melangkah meninggalkan ibunya. Sebelum menutup pintu, ibunya tersenyum. Marni tidak tega meninggalkan ibunya sendiri, tapi ia juga tidak tega menolak permintaan ibunya yang terus memohon.

Tak ada nyanyian jengkrik dan katak, tak ada lolongan anjing yang menyayat hati. Semuanya terdiam, sunyi.

Marni menatap dalamnya sungai, ia berdiri kaku. Malam semakin larut.

Ia berjalan terus tanpa arah yang jelas. Kemana ia harus mencari kakaknya? Sudah seminggu ia bertahan mencari kakaknya, menahan rasa haus dan lapar. Ia suadah putus asa. Teringat ibunya yang berbaring sakit, ia memutuskan untuk pulang.

Kembali ia harus dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan. Ibunya telah dijemput oleh Yang Maha Kuasa. Jasad ibunya terbaring kaku, masih tersenyum sama ketika ia meninggalkannya seminggu yang lalu, senyum seorang ibu yang menantikan kehadiran anaknya.

Pahitnya kehidupan semakin mengguncang jiwanya. Kini ia telah sendiri, tak ada lagi orang-orang yang ia kasihi bersamanya. Marni masih berdiri di tepi sungai, berdiri kaku, dan terus merintih. Ia bertekad mengakhiri semuanya. Mengakhiri luka yang terus menyakitinya, luka yang selalu membuatnya meringis menahan rasa sakit, sakit yang memaksanya untuk menangis, meratap pedih. Ia hanya seorang gadis miskin, insan lemah yang tak punya kekuatan. Ia sangat lemah, korban dari kejamnya hidup dalam kamiskinan.

Marni menutup matanya, memohon ampunan kepada Tuhan. Ia sudah tak sanggup bertahan, ia bosan dengan semuanya. Ia ingin ketenangan, ia sangat merindukan kebahagiaan. Ia ingin semuanya berakhir.

Marni membuka kelopak matanya, menatap dalamnya sungai. Ia yakin, ayah dan ibunya menuggu di surga. Ia rindu kepada mereka. Sepintas, bayangan ayah dan ibunya tersenyum mengulurkan tangan kepadanya. Marni tersenyum menyongsong uluran tangan mereka. Marni melangkah dan terus melangkah hingga akhirnya tenggelam ke dasar sungai yang paling dalam.

“Marniiiiiii…….!!!” Tiba-tiba teriakan panjang memecah malam. Ari tersungkur di tepi sungai menunggu Marni kembali menemuinya, tapi Marni tak kembali dan tak akan pernah kembali lagi.

Ari menangis pilu, meratapi kenyataan yang ia hadapi. Saat ia ingin membahagiakan ibu dan adiknya, membuat mereka bangga. Sekarang ia telah berhasil meraih impian orang-orang yang dikasihinya. Namun, semuanya terlambat.

“Ibu…, Marni…!”

“Sabarlah Nak, relakan kepergian mereka. Mereka pasti bahagia melihatmu sekarang, berhasil meraih impian mereka. Semoga Allah menguatkan hatimu karena Allah tidak akan memberikan cobaan di atas kemampuan hamba-Nya.” Pak Ahmad mengelus rambutnya. Ari menyadari, semua ini sudah menjadi takdir-Nya. Semua ini adalah hadiah hidup dalam kemiskinan.